Selasa, 16 Desember 2008

INDUSTRI BUAH MENJANJIKAN

Jakarta, Kompas - Pengembangan agrobisnis buah-buahan di Indonesia masih jalan di tempat. Pemerintah belum berupaya serius membangun industri buah-buahan nasional yang terintegrasi mulai dari tingkat budidaya, industri pengolahan, hingga perdagangan. Kalaupun ada, skalanya kecil.

Padahal, industri buah-buahan menjanjikan pendapatan besar bagi masyarakat dan dapat memperkuat pasar domestik.

Menurut Prakoso, pemulia tanaman asal Demak, Jawa Tengah, Kamis (11/12) di Jakarta, sulitnya konsumen>w 9236m< mendapatkan buah-buahan kualitas unggul di pasar ritel menunjukkan bahwa produksi buah-buahan terbatas.

Hal itu terjadi karena populasi tanaman buah-buahan juga terbatas. Ia mencontohkan, buah duku sumber dari Kudus, Jawa Tengah, yang harganya lebih mahal dari duku Palembang, populasinya di Kudus hanya 300-400 pohon.

Populasi tanaman durian petruk juga sangat terbatas, begitu pula avokad mega murapi, mega paninggahan, ataupun mega gagauan juga amat terbatas.

Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian memperkirakan, rata-rata peningkatan konsumsi buah-buahan per lima tahun pada periode 2005-2015 adalah antara 31,5-44,5 persen.

Dengan kata lain, total konsumsi akan naik dari 10,3 juta ton (2005) menjadi 13,9 juta ton (2010) dan 20 juta ton (2015).

Sayangnya, saat ini kebutuhan buah-buahan nasional masih banyak yang diimpor. Berdasarkan data Ditjen Hortikultura, volume impor buah-buahan Indonesia terus meningkat. Bila pada 2003 total volume impor buah-buahan 228.447 ton, tahun 2006 naik menjadi 427.484 ton.

Dari total impor 2006 sebanyak 427.484 ton, hampir 25 persen (100.655 ton) buah jeruk, 10.334 ton durian, 966 ton mangga, 441 ton pisang, dan selebihnya nanas, avokad, jambu biji, melon, duku, dan jenis buah lain.

Garut sentra jeruk

Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian Nana Laksana Ranu mengakui minimnya populasi tanaman buah-buahan.

”Yang bisa kami lakukan memberikan stimulus pada swasta dan pemerintah daerah, antara lain melalui bantuan bibit,” katanya. Tahun 2008, total bantuan bibit buah-buahan 42.000 batang.

Nana menyatakan, pemerintah saat ini giat membangun sentra-sentra produksi buah. Misalnya di Garut, Jawa Barat, akan dirancang menjadi sentra produksi jeruk keprok yang dapat menyubstitusi jeruk impor.

Selain Garut, di masa datang juga akan dikembangkan produksi buah mangga di Majalengka, nanas di Subang, dan avokad di wilayah Jawa Timur.

Sementara itu Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad menyatakan, untuk mengembangkan industri buah-buahan, yang utama adalah membangun pasar terlebih dulu.

Kalau pasar sudah ada, tinggal bagaimana menyesuaikan produksi dengan keinginan pasar. ”Teknologi pertanian dan pengolahan pangan juga harus diarahkan untuk memenuhi pasar,” katanya. (MAS)

Read more...

RAMBAK PUCUNG LAKU KERAS

BANTUL (KR) - Memanfaatkan sisa kulit yang dibuat kerajinan, sejumlah warga Pucung Wukirsari Imogiri kembangkan industri rumahtangga pembuatan rambak. Usaha sampingan ini bisa menjadi sumber tambahan penghasilan sekaligus meminimalisir limbah kulit. Harga rambak di pasaran juga cukup tinggi, mencapai Rp 40 ribu -Rp 50 ribu per kilogram.

Sedikit berbeda dengan rambak kebanyakan. Rambak Pucung ini bentuknya panjang, kecil-kecil seperti belut dan tidak beraturan. Namun demikian rasanya tetap enak, renyah dan gurih. Di pasaran, rambak Pucung ini banyak diminati. Untuk memenuhi permintaan pasar lokal di wilayah Bantul saja masih kurang.

Ny Warsiah salah seorang pembuat rambak mengatakan, setiap 2 kali seminggu dia bisa menjual 10-12 kilogram rambak. "Saya hanya menjual ke Pasar Imogiri. Itu pun masih banyak konsumen yang tidak kebagian. Hanya dalam waktu beberapa jam langsung diserbu pembeli," katanya kepada KR di kediamannya, Rabu (3/12).

Rambak buatannya ini berasal dari kulit kerbau, kambing dan sapi. Bahan bakunya dari sisa (pinggiran) kulit wayang yang tidak termafaatkan.
"Ketika membuat kerajinan wayang kulit, seringkali ada kulit pinggiran yang tersisa. Ini yang dibuat rambak," terangnya. Kebanyakan konsumen memanfaatkan rambak untuk dimasak sambal goreng, oseng-oseng atau langsung dimakan begitu saja.
Warsiah yang sudah 4 tahun membat rambak ini mengatakan, proses pembuatannya tidak sulit. Kulit sisa kerajinan dicuci bersih. Untuk menetralkan, kulit dicuci dengan air kapur kemudian dibumbui bawang putih dan garam lalu dijemur. Setelah kering diungkep dengan minyak goreng selama setengah jam kemudian digoreng dalam minyak panas.
Warsiah juga tidak menggunakan bahan pemutih dalam proses pembuatannya, sehingga rambak buatannya berwarna kecoklatan. "Yang penting aman dan tidak merugikan konsumen," ucapnya. Dalam memilih bahan baku, dia juga harus hati-hati. Tidak menggunakan kulit buatan pabrik yang sudah tercampur bahan-bahan kimia sehingga mengandung racun. Kulit pabrikan ini biasanya berwarna kehitaman.

Meski hanya memanfaatkan bahan sisa tapi harga jual rambak Pucung cukup tinggi. Sebab harga kulit mentah juga sudah mahal. Satu lembar kulit kerbau misalnya, bisa mencapai Rp 800 ribu. Sedang untuk bahan pendukung lainnya seperti minyak goreng dan kayu untuk bahan bakar relatif murah.

Read more...

Rabu, 10 Desember 2008

GENTENG AJAIB

Roda sepedaku melewati rumah-rumah penduduk yang sederhana tapi terkesan asri menuju kampus UTY. Waktu tempuhnya tidak main-main, membutuhkan 1 jam perjalanan. Kalau diperkiraan jarak antara Panti Bina Insani ke UTY sekitar 30 Km pulang pergi. Hampir semua rumah menggunakan genteng sebagai atap. Uniknya, genteng ini dibuat dan diproduksi di sepanjang jalan yang ku lewati.

Saya kemudian berpikir, gimana kalau ini dikembangkan di kampung halaman “Enrekang”. Soalnya, di Enrekang sangat potensial sebagai penghasil genteng, tanah litanya lumayan banyak, terutama di desa tempat tinggalku dulu “Maroangin. Tapi sayang, penduduknya belum berpikir sampai ke sana. Padahal, tanah yang sejenis itu sulit untuk dikelola sebagai lahan pertanian. Tanah tersebut biasanya dibiarkan begitu saja, tidak dikelola dan hanya ditumbuhi ilalang.

Dilihat dari manfaatnya, genteng lumayan baik sebagai alternative atap pada rumah. Genteng yang kualitas bagus bisa tahan sampai berpuluh-puluh tahun, anti karat bila dibandingkan dengan atap seng. Bila cuaca panas, genteng dapat meresap panas sehingga ruang rumah terasa adem. Tapi jika malam tiba, udaranya hangat karena genteng melepas panas dan kondisi seperti ini sangat cocok di daerah Enrekang sebagai daerah dingin. Lagian, biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak terlalu banyak. Ya…semacam kerja sampingan di ladang atau sawah.

Read more...

Senin, 08 Desember 2008

Media Publikasi berbagai hasil karya orang Jogja, yang membuat masyarakat jadi berpikir, menilai, menimbang dan selanjutnya menindaklanjuti sebagai usaha rumahan atau usaha kecil menegah ke atas. Usaha ini dirasa sangat cocok untuk diterapkan di Enrekang demi menjawab tantangan di masa datang dan mengurangi urutan kemiskinan Kabupaten Enrekang.

Read more...

Followers

Text

  ©Template by Dicas Blogger.