Rabu, 14 Januari 2009

Tobi Moektijono dan Soal Matematika Uniknya

Soal matematika mungkin menjadi sosok yang mengerikan untuk kita, apalagi untuk anak kelas II SMP, akan tetapi lain halnya untuk Tobi Moektijono yang berusia 14 tahun. Di usianya yang masih muda itu, ia tidak hanya piawai dalam memecahkan soal matematika, ia juga piawai dalam membuat soal matematika.



Menurutnya, matematika bukan hanya sekedar mencari angka akhir dari sebuah proses penghitungan matematis, matematika juga dapat digunakan untuk mengasah pola pikir kreatif dan logika. Karena untuk menyelesaikan satu soal matematika, cara atau jalan yang ditempuh ada banyak.


Membuat soal matematika yang ia akui sebagai hobi ia lakukan pada waktu senggangnya, “Saya buat soal-soal matematika karena senang membuat persoalan untuk dipecahkan sendiri,” ujar anak yang sudah meraih prestasi bidang matematika tingkat internasional sejak duduk di bangku kelas V SD Santa Maria itu.


Pelajar yang sekarang duduk di bangku kelas II SMP Kolese Kanisius, Jakarta ini juga bahkan sudah membuat kumpulan soal-soal yang ia buat menjadi buku, sejauh ini Tobi sudah membuat dua buku yang salah satunya berjudul “Kumpulan Soal-soal Unik Matematika” yang diterbitkan Maret 2006. Disebut unik karena dari soal-soal yang ia buat, banyak di antaranya yang belum ada di buku-buku matematika pada umumnya.


Menurut Tobi yang membuat matematika menjadi hal yang sulit adalah kerangka berpikir tentang matematika itu sendiri. “Kalau dari TK, matematika dibilang enak, ya seterusnya dia akan menyukai. Tapi, rata-rata orang bilang soal matematika itu susah, atau gurunya galak, pekerjaan rumahnya banyak,” katanya.


Meskipun Tobi memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang matematika, ia mangaku masih memiliki kekurangan, ia masih kurang dalam menghapal rumus-rumus matematika yang diberikan oleh gurunya.


Dalam membuat soal, Tobi mengaku dapat melakukannya kapan saja dan dimana saja, ketika makan di restoran pun ia dapat menggunakan kertas yang ada untuk menulis soal yang sudah lengkap dengan jawabannya.


Adapun ibunda Tobi, Grace yang dengan telaten mengumpulkan soal-soal yang dibuat oleh Tobi dari kelas IV-VI SD yang berjumlah 150 soal dan semua kreasi sendiri.


Ide untuk mengumpulkan soal-soal yang dibuat Tobi menjadi buku dan diterbitkan datang dari Kepala SD Santa Maria, Suster Alexis.


Tobi dibantu oleh Ridwan Hasan Saputra, Presiden Direktur Klinik Pendidikan MIPA dalam kompetisi matematika internasional.



Kreativitas dan kejujuran dilatih lebih penting dari royalti buku yang ia dapat. “Ia harus berani mempertanggungjawabkan, karena ada jawaban,” kata Heruprasjogo, ayah Tobi.


Tobi mengaku senang bisa memiliki buku dan ia mengaku kalau PR matematikanya sering dipinjam oleh teman-temannya.


Untuk buku keduanya, yang hanya berjumlah 80 soal dan terbit 1, tahun setelah bukunya yang pertama, Tobi mendapat masukan dari Kepala Sekolah SMP Kolese Kanisius, Br Y Triyono, SJ.


“Setiap soal saya beri solusi alternatif, karena daeri satu soal yang sama, cara menjawabnya bisa beda,” jelas Tobi yang bercita-cita menjadi ahli genetika.


Minat dan bakat Tobi terlihat sejak ia berusia 2,5 tahun, ia lebih menyukai angka dan huruf ketimbang mainan untuk anak seusianya dan ia memliki impian untuk menemukan rumus matematikanya sendiri.


Saat ia duduk di bangku kelas IV SD, ia diikutkan lomba matematika yang lantas ia ungguli, ia kemudian disertakan pada lomba-lomba internasional oleh Departemen Pendidikan Nasional. Tobi pun menjadi juara pada International Mathematics and Science Olympiad pada tahun 2005 dan juga memperoleh penghargaan teori terbaik.


Tahun ini Tobi sedang mempersiapkan diri untuk berpartisipasi dalam Olimpiade Sains Nasional 2008 di Makasar, Sulawesi Selatan, tahun ini ia akan berkompetisi di tingkat SMA, karena ia sudah pernah meraih medali emas di tingkat SMP.


Terus menciptakan soal-soal matematika menjadi tekad Tobi, karena selain bermanfaat untuk dirinyajuga dapat berguna untuk sesama pecinta matematika.



Sumber: www.kompas.com

Read more...

Sabtu, 03 Januari 2009

Pemanfaatan Kotoran Sapi Karya Mahasiswa Pertanian UGM Menghasilkan Gerabah Yang Bernilai Tinggi

Pemanfaatan hasil limbah industri peternakan sapi selama ini sebagai bahan pupuk dan biogas telah berkembang dalam masyarakat.

Namun peningkatan nilai ekonomis dari pemanfaatan hasil limbah tersebut masih belum optimal dan masih banyak pemanfaatan bahan alami lainnya sebagai bahan pupuk organik seperti kotoran kambing, kotoran kerbau, jerami, sekam padi, lamtoro, semua bagian vegetatif tanaman dan eceng gondok. Sementara pemanfaatan limbah tersebut sebagai bahan biogas dalam waktu dekat ini belum berkembang dengan baik karena mahalnya pemasangan peralatan biogas.

Industri gerabah, yang sering disebut dengan tembikar atau keramik, merupakan salah satu jenis usaha yang mampu bertahan bahkan berkembang dalam kondisi krisis saat ini sementara sekian banyak jenis usaha lain mengalami kemacetan bahkan kehancuran. Dengan teknologi yang sederhana dan dikerjakan dengan tangan, kemudian dikeringkan, dibakar dengan tungku tradisional ternyata mampu mendatangkan keuntungan yang besar.

Bagi Daerah Istimewa Jogyakarta, keberadaan industri gerabah di Kasongan telah menjadikan salah satu ciri khas wilayah ini dan salah satu komoditi unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal tidak saja karena mutu yang tinggi, desain yang variatif dan kualitas yang bagus, tetapi juga dari nilai ekspornya yang tinggi. Krisis moneter yang terjadi tidak berpengaruh terhadap kegiatan industri ini, bahkan dengan menurunnya nilai rupiah justru memberikan nilai ekspor yang tinggi karena semakin tingginya pasaran gerabah ke manca negara, seperti Australia, Amerika, Jepang, Belanda dan Perancis. Perkembangan teknologi dan cita rasa seni dari para pengrajin gerabah memberikan sentuhan seni yang tinggi, baik dari sisi bentuk gerabah itu sendiri maupun pemberian warna dan penutup gerabah dari bahan baku limbah lain seperti cangkang telur,eceng gondok dan pelepah pisang yang dikeringkan.

“Selama ini campuran gerabah memakai bahan campuran pasir. Pasir terdiri dari partikel yang cukup besar sehingga strukturnya berpencar dan tidak bisa mempertahankan kelembapan. Pasir cenderung meloloskan air terlalu cepat. Hal ini yang membuat kualitas gerabah kurang memuaskan. Untuk itu diperlukan suatu kreatifitas bahan dasar pembuatan gerabah yang lebih murah namun tidak mengurangi kualitas gerabah itu sendiri. Dengan itu kami memilih pengolahan limbah peternakan sapi sebagai bahan campuran untuk mengganti pasir yang mampu meningkatkan kualitas gerabah,” kata salahs atu anggota dari team gerabah sapi Syammahfudz Chazali mahasiswa angkatan 2003 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada kepada Radar Jogja yang mewakili empat teman lainnya.

Syam begitu dirinya akrab di sapa menambahkan, awalnya ia mempunyai ide untuk mengubah kotoran sapi menjadi sesuatu yang berguna karena melihat kotorannya sendiri lalu berfikir apakah kototan ini dapat dijadikan pupuk atau biogas. ”Yang terpenting pemikiran awal adalah bisa dulu, urusan bagaimana cara pembuatannya itu urusan belakangan, kalau kita yakin bisa pasti sesuatu akan terjadi. Seperti kotoran sapi ini yang awalnya hanya sebagai limbah biasa saja tetapi kami ubah menjadi biogas dan sebagai bahan dasar dari gerabah,” tambahnya.

Penelitian yang sudah dilakukan dengan bantuan dana dari Proyek Due-Like Batch IV UGM tahun 2007, membuktikan bahwa kompos dari pengolahan limbah peternakan sapi sangat baik dijadikan bahan campuran pembuatan gerabah. “Sifat kotoran sapi yang telah di buat kompos mempunyai sifat mengikat ion sebagai bahan perekat dengan silikat sebesar 9,6 persen, sedangkan sifat tanah liat adalah mampu mengikat dan melepaskan molekul air, mampu mengembang dan mengerut, bersifat plastis dan mampu menyerap kation dan bersama bahan organik meningkatkan kemampuan mengikat air dan unsur hara,” ujar Syam melanjutkan bila dicampur hasil gerabah yang dihasilkan akan lebih ringan, lebih halus, lebih kuat dan mudah dalam pewarnaan berbeda dengan pemakaian bahan campuran pasir yang membuat gerabah lebih berat, lebih kasar dan membuat tangan pengrajin cepat rusak.

Fatmawati yang juga merupakan sanggota dari team menjelaskan alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah molen, yaitu mesin penggiling atau pencampur bahan baku utama berupa tanah liat hitam, tanah liat kuning dan kompos dari pengolahan limbah peternakan sapi. Perbot atau alat putar, merupakan alat yang berbentuk lempengan bulat untuk membantu dalam proses pembentukan/pemodelan gerabah yang digerakkan dengan kaki.

“Mal atau alat cetak, digunakan untuk mencetak model tambahan untuk gerabah, seperti model daun dan bunga, tungku pembakaran berfungsi untuk melakukan pembakaran gerabah yang telah dikeringkan melalui proses penjemuran. Tungku ini berbentuk bangunan dengan ukuran 2 x 3 meter dengan tinggi 2,5 meter, alat pewarnaan (finishing) sebelum dilakukan pengecatan terlebih dahulu dilakukan proses finishing dengan menggunakan alat penghalus seperti pisau dan ampelas dan alat pengepakan, berupa kayu yang berfungsi untuk mengemas produk gerabah sebelum dilakukan pengangkutan,” jelas mahasiswi angkatan 2004 Sosial Ekonomi Pertanian UGM.

Sedangkan untuk bahan utama yang digunakan adalah tanah liat hitam (Bangunjiwo) dan tanah kuning (Godean) sebagai bahan baku utama. Untuk menghasilkan produk berupa barang-barang keperluan rumah tangga dan peralatan dapur diperlukan tanah liat hitam, sedangkan untuk menghasilkan produk kerajinan yang berkualitas, seperti patung, guci dipergunakan campuran tanah liat kuning dengan perbandingan tertentu.

“Kompos dari limbah peternakan sapi, sebagai bahan pencampur agar tanah liat dapat merekat erat, bahan baku ini diperoleh dari industri peternakan sapi yang ada disekitar wilayah kasongan seperti daerah Wonosari, Sleman, Klaten dan Boyolali. Air, berfungsi untuk melunakkan campuran tanah liat dan kompos sehingga memudahkan dalam membentuk suatu model gerabah. Kayu bakar dan jerami, sebagai bahan penolong dalam proses pembakaran gerabah. Dan cat, sebagai bahan pelengkap agar gerabah mempunyai cita rasa seni sehingga memberikan daya tarik dan keindahan,” lanjut Fatma.

Mereka berharap nantinya hasil dari penelitian ini yang berupa gerabah dapat diminati oleh masyarakat luas, dan semoga saja bisa membuka lapangan pekerjaan baru untuk mereka yang membutuhkan. “Gerabah kotoran sapi ini nantinya banyak masyarakat yang menyukai dan memesan kepada kami dalam jumlah besar. Serta dapat membuka lapangan pekerjaan baru ke depannya,” harap mereka. (cw4)

Read more...

Followers

Text

  ©Template by Dicas Blogger.